Kita ini senang mengunggul-ungguli
simbol tapi gagap pada substansi, Ki Hadjar Dewantoro diagung-agungken jadi
Bapak Pendidikan, tapi Taman Siswa sendiri hidup tak mau matipun enggan, Taman
Siswa seperti sekolah rakyat yang tak tersentuh, jauh dari sekolah para dewa,
sekolah internasional dan sekolah negeri yang beracuan pada pendidikan barat.
Bapak Pendidikan secara realistis
sepertinya cocok diberikan kepada Daendels, sebab dia-lah penguasa di
Nusantara pertama yang menciptakan sistem sekolah rakyat. Pada bulan Juni 1810,
di Cirebon Daendels melihat bahwa rakyat sama sekali tak dapat pendidikan
aksara, tak mendapat pendidikan mengenal lingkungannya. Lalu ia berbicara
dengan Pangeran Cirebon untuk segera dibentuk 'Sekolah Ronggeng'. Pada dasarnya
sekolah ronggeng adalah sekolah pertama kali yang memadukan sistem
pendidikan barat dengan sistem pendidikan timur dimana siswa didik dikenalkan
pada lingkungannya dengan melek huruf, disini berarti ada pertemuan antara
ketercerahan jiwa dengan ketercerahan intelektual. Pada tahun 1811 di Batavia,
Daendels melihat begitu banyak kematian bayi-bayi, dan tidak adanya perawatan
kesehatan. Daendels memerintahkan dibentuknya sekolah bidan. "Sekolah
Bidan" Daendels bisa dikatakan sebagai sekolah kedokteran tahap pertama
sebelum adanya sistem pendidikan yang sistematis pada masa-masa selanjutnya.
Daendels mencatat semua persoalan-persoalan penduduk pribumi dalam sebuah
arsip,
Bila Daendels bisa dikatakan Bapak
Pendidikan di Nusantara, maka Van Heutz bisa dikatakan Bapak Pembuka Sistem
Pendidikan. Van Heutz adalah Gubernur Jenderal terbesar pada masa Hindia
Belanda, dimasa dia-lah seluruh Nusantara dijadikan satu jaringan sistem
pemerintahan yang tertib dan teratur. Setelah pidato-nya yang terkenal di
Lapangan Banteng 10 Mei 1907 tentang kesempurnaan geopolitik di wilayah Hindia
Belanda, setelah pidato itu ia mengumpulkan seluruh penggede Hindia Belanda dan
akan melakukan politik pendidikan rakyat, disini Van Heutz membentuk sistem
sekolah desa, sebagai alat pencerdasan rakyat dan memberantas buta huruf,
rakyat harus dikenalkan pada dunia baca dan dunia tulis sehingga pikirannya
berkembang. -Dimasa Van Heutz pula dibicarakan tentang gagasan sekolah
peralihan (Schakel School). Disini Van Heutz menerapkan dasar-dasar pedagogi
yang secara sistematis mengenalkan dunia aksara dan dunia hitung lewat sistem
yang lebih teratur, Van Heutz juga membaca arsip-arsip yang dilaporkan pada
masa Daendels, dan keinginan Daendels membangun sistem pendidikan modern di
Jawa sebagai uji coba sistem pendidikan bagi anak pribumi, Van Heutz juga
membaca laporan-laporan tentang perkembangan politik di Parlemen Belanda yang
menuntut adanya sistem pendidikan teratur di Hindia Belanda, Parlemen Belanda
yang pada waktu itu dikuasai dua kelompok besar : Sosialis dan Liberal menuntut
dengan satu suara "Hidupkan Sistem Pendidikan Pribumi". Sistem
pendidikan yang diteriakan kelompok Van Deventer itu tak pernah sampai ke meja
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sampai Van Heutz membentuk inisiatifnya sendiri
membangun sistem pendidikan yang progresif. Apa yang dilakukan Van Heutz ini
disempurnakan oleh Idenburg dan lebih sempurna lagi pada masa Van Limburg
Stirum dengan memasukkan sistem kurikulum paling teratur dan terintegrasi, sistem
kurikulum Van Limburg Stirum sampai sekarang masih digunakan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional. Sebenarnya sekolah-sekolah modern dibangun di
Indonesia sudah ada sejak 1850, hanya saja pembangunannya itu bertahap, seperti
sekolah pendidikan (Kweekschool) itu didirikan pada tahun 1852 di Surakarta.
Namun seluruhnya belum teratur dan masih dalam rangkaian proses.
Substansi seluruh sistem pendidikan
baru secara serius digarap dan dijadikan pedoman pedagogis pada tahun 1918 pada
masa Van Limburg Stirum ini. Kesempurnaan seluruh entitas pendidikan terjadi
pada tahun 1918. Di Hindia Belanda sudah ada pendidikan kejuruan yang amat
efektif seperti sekolah dagang (handels onderweijs), sekolah pertanian
(landbouw onderweijs), sekolah pertukangan (amaatsch leergang) dan sekolah pertukangan
berbahasa Belanda (Ambaatchsschool)
Sekolah-sekolah formal akademis dari
HIS sampai HBS atau AMS dan Universiteit dibangun dimana-mana. Jadi dimasa
ketika Ki Hadjar Dewantoro membangun Taman Siswa ini bukan sebagai pembentuk
sistem pendidikan nasional, tapi perlawanan terhadap substansi kebangsaan
pendidikan nasional.
Berdirinya Taman Siswa tak lepas
dari diskusi panjang dua minggu yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro (waktu
itu nama resminya masih Suwardi Suryoningrat), Drs. Raden Mas Pandji Sosrokartono,
dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat kebangsaan, dialog-dialog mereka
amat panjang dan menyentuh pada persoalan kemanusiaan dan rasa jiwa manusia,
sehingga dicetuskanlah ide membangun pendidikan berorientas kebangsaan.
Beberapa tahun kemudian setelah diskusi panjang itu berdiri sekolah Taman Siswa
di Yogyakarta pada tahun 1922. Pendidikan Taman Siswa adalah pendidikan
perlawanan, awal dari mula-mula diuji coba untuk melawan kurikulum Belanda
dengan sistem pendidikan yang tak mengasingkan anak didik kepada bangsanya. Ini
substansi dari berdirinya Taman Siswa. Namun perkembangan Taman Siswa ke depan
malah dilindas dalam laju sejarah, Taman Siswa gagal menjadi sistem alternatif
pendidikan, kecuali nama Ki Hadjar Dewantoro yang seakan-akan menjadi simbol
atas pendidikan nasional kita.
Adalah Ki Said, salah seorang guru
Taman Siswa yang paling terkenal dan mengepalai sekolah Taman Siswa di Djakarta
antara tahun 1945-1966, Ki Said mengembangkan sistem pendidikan Taman Siswa
dengan amat revolusioner yaitu : "Bahwa setiap orang memiliki bakatnya,
setiap orang memiliki takdir atas bakatnya" patokan adagium Ki Said
inilah yang kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan Pendidikan Taman Siswa di
Djakarta, dan hasilnya di masa Ki Said, Taman Siswa menyumbangkan
seniman-seniman besar Indonesia seperti : Benyamin S dan pelawak Ateng.
Benyamin S mengenang, pendidikan Taman Siswa-lah yang membuat ia mencintai
dengan amat sangat bangsa sendiri, ia tidak merasa malu menyanyikan lagu-lagu
betawi karena pendidikan Taman Siswa ini, ia bangga berhadapan dengan gengsi
lagu asing, karena ia merasa bahwa lagu yang ia bawakan adalah identitas paling
awal kemanusiaannya. Ki Said telah membentuk karakter Benyamin S dari seorang
anak bandel tukang catut menjadi seniman paling legendaris yang dimiliki bangsa
Indonesia. Ki Said amat mencintai Bung Karno, suatu waktu di awal tahun 1966,
Kesadaran Nasional adalah inti dari pendidikan Taman Siswa, inti dari pemikiran
Ki Hadjar Dewantoro, apabila sistem pendidikan nasional tak menghasilkan
kesadaran nasional, kebanggaan sebagai bangsa, kebanggaan bahwa kita adalah
bangsa yang mampu menyumbangkan kebudayaan dunia, membentuk peradaban baru,
maka jangan sekali-kali kalian menyatakan Bapak Pendidikan Nasional kalian
adalah Ki Hadjar Dewantoro, tapi secara realitas memanglah Bapak Pendidikan
Nasional kalian adalah Daendels, karena Daendels membangun pendidikan tanpa
jiwa nasionalisme ia hanya ingin menyebarkan ilmu pengetahuan, sama seperti
orang tua sekarang yang lebih bangga anaknya bisa bahasa Inggris di
tempat-tempat umum ketimbang lancar berbahasa Indonesia.
Kepada Ki Hadjar Dewantoro dan
kepada Ki Said, bangsa Indonesia berterima kasih telah dibentuk jiwanya.